Adalah George Coedes dalam The Indianized States of Southeast Asia mencatat, sejarah hubungan antara India dan Asia Tenggara bukanlah sekadar tukar-menukar barang dagangan, melainkan juga mengambil bentuk kerja sama di bidang kebudayaan.
Demikian kuatnya pengaruh budaya India di Asia Tenggara, bahkan bisa dikata mustahil memahami Asia Tenggara klasik tanpa merujuk pada India. Coedes menyebut keadaan daerah-daerah yang telah mengadopsi peradaban India itu sebagai ”indianisasi.”
Indianisasi atau juga sering disebutnya “perluasan budaya India” ini, lanjut Coedes, pada dasarnya harus dipahami sebagai tersebarnya suatu kebudayaan yang terorganisir, yang berlandaskan konsep India tentang kerajaan. Ciri-ciri khasnya ialah tersebarnya Hindu atau Budha, mitologi Purana, kepatuhan pada Dharmasastra, diadopsinya kalender Tahun Saka, dan cara pengungkapannya menggunakan bahasa Sansekerta.
Karena alasan inilah, sejarawan Perancis yang membuat kita mengenal keberadaan Sriwijaya ini, kadang juga menyebut fenomena perluasan budaya India sebagai Sansekertanisasi.
Menariknya, walaupun bentuk pemerintahan bisa jadi mengadopsi model India, akan tetapi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara bukanlah vasal India. India bisa dibilang hanyalah agen penyebar kebudayaan, bukan negara imperialisme sebagaimana makna istilah tersebut sekarang dipahami.
Mengikuti NJ Krom perihal teori Waisya atau golongan pedagang, Coedes pun meyakini penyebaran kebudayaan India yang cepat dijembatani oleh proses perdagangan. Selain itu, ia juga meyakini penduduk asli yang mendiami daerah-daerah di Asia Tenggara bukanlah bangsa terbelakang.
Sungguhpun Asia Tenggara era klasik tak bisa dipahami tanpa merujuk pada sumbangsih peradaban India plus Cina, unsur-unsur warna lokal di daerah itu juga terlihat mengemuka kuat.
Apa yang terjadi bukanlah jalan dominasi dan hegemoni kebudayaan oleh budaya India sebagai entitas yang-global. Sebaliknya justru saat itu terlihat jelas pilihan strategi kebudayaan selalu mengambil jalan alkulturasi sebagai bentuk kolaborasi dan sekaligus sintesis yang melibatkan unsur-unsur lokal Asia.
Bagaimanapun, Asia Tenggara adalah kawasan yang sepanjang sejarahnya telah menjadi jalur lalu lintas internasional. Secara geokultural posisi Asia Tenggara selalu terbuka bagi pengaruh dari luar. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara ini bukan hanya berhasil mengadopsi unsur-unsur asing, melainkan sekaligus sanggup mengadaptasikannya supaya selaras dengan kepentingan mereka sendiri.
Walhasil, jika di India candi hanya sebatas tempat pemujaan, tetapi di Asia Tenggara bisa jadi tempat penyimpanan abu raja dan sekaligus lokus kultus raja. Raja-raja di Asia Tenggara pun tak segan-segan dgambarkan dalam rupa bentuk arca dewa-dewi Hindu atau Budha.
Kisah Ramayana, Mahabharata, dan juga Siddharta Gautama pun terihat disadur tak lepas dari unsur-unsur warna lokal. Wajar saja sekiranya di Asia Tenggara terdapat banyak versi atas cerita-cerita tersebut.
Dialektika yang Global dan yang Lokal
Indonesia, sebagai bagian dari kawasan Asia Tenggara, jelas mengalami fenomena Indiansiasi. Prasasti-prasasti Sansekerta ditemukan pertama dari era Mulawarman di Kutai, berasal dari awal abad ke-5. Lainnya lagi muncul dari era Purnawarman, di bagian barat Jawa, pun berasal dari pertengahan abad yang kurang lebih sama.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1559007512_Borobudur.jpg" />Candi Borobudur. Sumber foto: Istimewa
Beberapa temuan arca Buddha tampaknya usianya lebih tua dari temuan inskripsi. Terutama yang ditemukan di Sulawesi kemungkinan ialah yang berusia paling tua karena mirip dengan tradisi Amaravatidan dari Sri Langka, yaitu abad ke-4 atau 5 M. Tak kecuali arca Buddha lain yang ditemukan di selatan Jember dan menunjukkan pengaruh Sri Langka, diduga kuat berasal dari kisaran abad ke 4 - 6 M.
Artinya, sejauh ini semua artefak purbakala yang tertemu tersebut tidak ada yang berasal dari masa sebelum abad ke-2 M. Sehingga proses penyebaran budaya India yang sangat kuat di Indonesia kemungkinan baru terjadi antara abad 2-3 M.
Menariknya, bicara jejak-jejak pengaruh budaya India terhadap Indonesia setidaknya ditemukan beberapa capaian monumental. Selain dicatat oleh para ahli filologi , Indonesia sebagai memiliki karya sastra Jawa yang bernilai klasik, juga terlihat adanya capaian pembangunan candi yang agung.
Indonesia memang memiliki ratusan candi. Bicara candi berarti bicara ilmu bangunan dan seni bangunan. Sebuah candi saat akan didirikan pasti didahului oleh perencanaan kontruksi dan tata letak yang disertai perhitungan-perhitungan matematis yang sangat cermat. Artinya dibangunnya sebuah candi tentu diprasyarati oleh penguasaan teknologi khusus.
Di antara ratusan candi itu paling tidak dua bangunan candi bisa dikatakan sebagai mahakarya yang monumental, bahkan hingga di tingkat dunia. Dikatakan monumental, selain memiliki ukuran besar dan bertingkat tinggi yang tentu saja menuntut penguasaan teknologi tinggi, juga karena secara estetis terlihat memiliki unsur-unsur warna lokal kuat.
Ya, dialah Borobudur dan Prambanan yang masyhur mendunia. Sekalipun tema panel-panel relief kedua candi dipastikan bersumber dari epos India -- Borobudur ialah ukiran kitab Mahayana dan Prambanan ialah kitab Ramayana -- bicara desain arsitektur dan teknologi dari keduanya, jelas bukanlah diadopsi dari negeri Hindustan.
Denys Lombard (1996) misalnya, pernah menggarisbawahi: bahkan di India sekalipun ternyata sama sekali tak pernah ditemukan satu model arsitektural sejenis atau setipe Borobudur.
Tak kecuali Prambanan, sebutlah kembali Krom (1931) misalnya. Sekalipun Krom memiliki bias saat mengandaikan cetak biru arsitektural Hindu-India, ia menilai, candi ini dibangun tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kuno arsitektur Hindu. Namun demikian, lanjut penilaian Krom, justru dengan cara itulah si-Loro Jonggrang--nama lain candi ini--berhasil menjembatani munculnya kesenian Jawa Timur yang lebih bercorak Jawa-Indonesia.
FDK Bosch, pernah menjabat sebagai Kepala Oudheidkundige Dienst (Jawatan Purbakala) dalam karyanya"Local genius" en oud-Javaanse kunst tiba pada kesimpulan yang mirip dengan Krom, selaku seniornya saat berkarir di Hindia Belanda: di sini (Prambanan) bukan tiruan belaka dari sebuah contoh atau ajaran. Sebaliknya, lanjut Bosch, ia muncul sebagai proses penciptaan bentuk-bentuk baru dari harta khazanah yang sangat kaya dan beragam dari aneka tradisi, atau hasil dari pengamatan terhadap bangunan-bangunan di tempat-tempat lain, bahkan termasuk di India.
“Local genius” demikianlah kata kunci penting yang mengemuka dari tulisan Bosch. Istilah ini bermakna sejauh mana atau seberapa kuat dasar-dasar kepribadian budaya penerima unsur-unsur asing itu membuktikan diri berperan signifikan dalam proses alkuturasi.
Munculnya local genius tak hanya terkait-mait dengan perbedaan aspek geografis dan kondisi sosial yang khas, melainkan bukan tak mungkin juga terkait adanya kepercayaan lokal sebelum masuknya budaya India. Fenomena ini setidaknya terlihat dari budaya pemuliaan nenek moyang yang membuat fungsi candi tak lagi semata sebagai tempat pemujaan dewa laiknya di India sana, melainkan sekaligus jadi tempat pemujaan nenek moyang atau raja-raja yang telah meninggal.
Terinspirasi Borobudur-Prambanan
Pada titik inilah, Indonesia seharusnya patut berbangga diri. Bagaimana tidak. Pada perkembangan lebih lanjut desain arsitektur Borobudur dan khususnya Prambanan ternyata berpengaruh kuat pada kontruksi pendirian candi-candi di luar Indonesia. Bahkan, tak tanggung-tanggung arsitektur kedua candi ini di masa itu bisa dikata mendunia.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1559007378_Prambanan.JPG" />Candi Prambanan. Sumber foto: Pesona Indonesia
Menurut Rahadhian Prajudi H (2015), Prambanan ialah “the first high-rise building in South East Asia.” Masih menurut penulis yang sama plus Galih A Pratomo (2018), arsitektur Prambanan dan Borobudur diduga kuat telah menginspirasi model pembangunan candi-candi di Indocina.
Bermaksud menguatkan hipotesa di atas, pada artikel lain yaitu Temple Representation in the Architecture of High-Rise Buildings of the Reformation Era in Jakarta, Hilmy Arieza dan Rahadhian Prajudi H, merujuk pendapat KA Nilakanta Sastri (1976) dan Karen Schreitmueller (2012). Sastri dan Schreitmueller menyimpulkan, candi-candi di India khususnya dari abad ke-10 atau abad ke-11 jelas terinspirasi dari candi-candi di Indonesia.
Selain itu, utamanya dan tentu yang termasyhur sehingga patut digarisbawahi, ialah Angkor Wat di Kamboja. Lagi-lagi ialah hasil penelitian arkeolog Indonesia sendiri, dalam Comparative Study of Type-Morphology Architecture Borobudur-Prambanan Temple of Angkor Wat Case Study on Mass Processes, Looks, Socks, and Ornaments, Andreas Martinus dan Rahadhian Prajudi H (2018) berhasil memperlihatkan dugaan kuat, bahwa unsur-unsur arsitektur Angkor Wat jelas terinspirasi oleh Borobudur dan Prambanan.
Selain didasarkan pada usia pendirian Angkor Wat tercatat lebih muda ketimbang tahun pendirian Borobudur dan Prambanan, kesimpulan itu juga didasarkan pada studi kasus dan perbandingan terhadap tata massa, denah, dan ornament. Terlihat ketiga candi, yaitu Borobudur, Prambanan, dan Angkor Wat memiliki pola (pattern) yang mirip satu dengan lainnya.
Selain itu, pendiri Angkor yaitu Jayavarman II atau dalam bahasa Indonesia ditulis sebagai Jayawarman II. Prasasti Sdok Kak Thom, misalnya, ditemukan di Thailand pada 1052, mencatat raja ini saat muda pernah tinggal di Pulau Jawa, sekalipun tafsiran ini masih bersifat debatable. Periodenya ditaksir semasa pembangunan Borobudur sehingga memungkinkan proses trasfer pengetahuan ke Angkor. George Coedes dan Lawrence Palmer Briggs, mengkonfirmasi kata dalam prasasti itu sebagai merujuk kepada Jawa-Indonesia.
Angkor Wat sendiri, laiknya Borobudur dan Prambanan, tentu juga merupakan produk sintesis perkembangan kebudayaan Angkor ketika berinteraksi dengan unsur-unsur luar atau asing.
Unsur-unsur luar atau budaya asing bagi Angkor ialah Nusantara atau Indonesia. Ini berarti, sekaligus membuktikan unsur-unsur lokal Nusantara bukan saja sanggup diterjemahkan pada konteks ruang dan waktu lokalitasnya sendiri, yaitu bumi Indonesia, melainkan lebih jauh saat itu pun berhasil “go internasional” dan tumbuh sebagai entitas yang global.
Pada titik inilah, sekali lagi kita sebagai bangsa Indonesia patut berbangga. Ibarat jauh melampaui zamannya, strategi kebudayaan Indonesia masa lalu ternyata justru telah piawai menterjemahkan tagline kaum Postmodernisme di abad ke-20, sebuah kredo dari praksis sosial dalam interaksi dunia yang semakin mondial dan juga kompleks: “Think globally, act locally" atau "Think global, act local."
Dan Nusantara abad 10 dan abad 11 sanggup mempraktikkan tagline Postmodernisme itu secara sempurna. (W-1)